Pelaporan yang mengejutkan, saya dapatkan dari hasil kongres hak asasi manusia tentang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yakni menempatkan Jawa Barat sebagai daerah paling intoleran di Indonesia.
mengapa saya sebut mengejutkan? sebab Jawa Barat yang merepresentasikan tanah dan orang sunda, dalam sejarah peradaban dan keberadabannya justru sangat toleran, ada beberapa hal yang patut dicermati :
pertama, toleransi kepemimpinan, sebagai orang yang tinggal didaerah pegunungan dan pedataran, masyarakat sunda terinspirasi oleh prinsip-prinsip air sebagai sumber inspirasi kehidupan yakni berwatak dingin, jernih, mengalir mengikuti kelok dan lekuk yang ujungnya melahirkan karakter masyarakat sunda yang lembut, terbuka dan menyejukkan
kedua, toleransi keyakinan, orang sunda menganut sistem keyakinan yang berasal dari nilai kultural yang berbasis alam dan lingkungan kebudayaan, kondisi ini membentuk sifat berserah diri secara total dalam melakukan penghambaan kepada Hyang Tunggal
sistem ketuhanan yang dibangun melahirkan sistem sosial yang bersifat komunal, bagaimana penghambaan tanpa pengakuan sehingga hampir seluruh piranti kehidupan masyarakat sunda ditata secara komunal bahkan hak kepemilikan sangatlah relatif karena kemutlakannya adalah milik Hyang Tunggal
sistem terbuka inipun pada akhirnya melahirkan sistem kehidupan yang berbasis nilai silih asah, silih asih dan silih asuh, (saling mencerdaskan, saling mengasihi dan saling mengayomi) lalu lahir perilaku sosial nulung kanu butuh, nalang kanu susah, nganteur kanu sieun, nyaangan kanu poekeun (menolong pada yang memerlukan, memberi pada yang kesusahan, mengantar pada yang ketakutan dan memberi cahaya kepada yang mengalami kegelapan)
sistem ini memberikan ruang luas kepada kaum migran untuk hidup secara damai di tanah sunda, itu terlihat dari berdirinya berbagai tempat dengan berlatar belakang nama asing atau dibangunnya tempat ibadah, candi dan klenteng
pembangunan tersebut adalah refleksi kebebasan beribadah kaum migran yang secara tidak langsung memberikan sebuah gambaran bahwa masyarakat sunda sangat terbuka terhadap tumbuh dan berkembangnya berbagai keyakinan ditanahnya sendiri
sikap ini berangkat dari perilaku yang humanis dan watak kekeluargaan yang memahami perilaku kaum migran sama dengan memahami dirinya sendiri. namun implikasinya berdampak pada watak dan dominasi kaum migran dan urban yang menghuni tanah sunda
sifat diam dan cenderung menghindari kegaduhan dengan prinsip cai na herang lauk na beunang (airnya jernih, ikannya dapat) telah melahirkan sebuah kultur masyarakat yang terdominasi iklim perubahan yang terus berjalan secara cepat
kegaduhan intoleransi yang terjadi berpusat pada beberapa wilayah perkotaan yang berkarakter urban dan migran namun bisa juga kegaduhan ini terjadi karena saking tolerannya masyarakat sunda.
Semoga bermanfaat.
Sumber: Kang dedi mulyadi (Bupati Purwakarta periode 2013-2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar